Wednesday, July 20, 2011

Berburu Sketsa di Taman Istana

Meski hujan, pagi itu Sketching & Sharing Indonesia’s Sketchers Jogja tetap dilangsungkan dengan berburu sketsa Tamansari pada hari Minggu, 13 Maret lalu. Sebelum sketsa dimulai, kami mengelilingi sekaligus belajar sejarah komplek yang ada di barat daya keraton itu. Tamansari merupakan tempat peristirahatan yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono I pada 1683 (tahun jawa) atau 1757 Masehi.

Jangan bayangkan mengunjungi Tamansari seperti mengunjungi candi Prambanan atau Borobudur. Bangunan yang berada di Jl Taman Yogyakarta itu bukanlah komplek tersendiri seperti candi-candi tersebut. Komplek Tamansari berbaur dengan perumahan-perumahan sehingga tak jarang kami harus melewati perkampungan dahulu untuk pergi ke bangunan sejarah lain. Jangan bayangkan juga di Tamansari masih ada keluarga keraton yang beraktivitas atau mandi di situ, karena bangunan tersebut sudah tidak difungsikan.

Tidak banyak yang tahu tentang Tamansari. Dulu Tamansari tidak sesempit yang dikunjungi wisatawan saat ini. Konon taman seluas 25 ha itu terdiri pulau dan danau buatan yang luas, kolam keluarga raja, lorong bawah air, kebun, jembatan gantung, gua bawah tanah, masjid, dan bangunan peristirahatan.


Kolam Pemandian Keluarga Raja
(Sketsa Erick Eko Pramono)

Kini, luas Tamansari hanya 12,6 ha. Itu pun, sudah tercampur dengan pemukiman warga. Objek Tamansari pun terlihat tenggelam dari perumahan-perumahan di sekitarnya. Dahulu, Keraton Pulau Kenanga (yang bisa dilihat dari pasar Ngasem lama), Masjid Tamansari, dan Pulau Panembung (selatan Pulau Kenanga) merupakan bangunan yang terapung di air. Sayangnya saat ini sudah ‘terapung’ oleh pemukiman. Sedangkan bagian selatan komplek Tamansari adalah kolam pemandian dan gedung peristirahatan Sri Sultan dan Permaisuri.

Foto Narsis

Kemegahan Tamansari memang hanya tinggal kenangan. Pada 1812 beberapa bangunan hancur oleh serangan Inggris. Pada 1867 terjadi gempa bumi yang menghancurkan beberapa bangunan. Meski begitu, suasana kuno bercampur hancur itu tetap memberi suasana yang lain bagi pengunjungnya. Oleh karena itu, tak jarang yang ke sana hanya untuk berfoto narsis.

Gerbang menuju kolam
(sketsa Yoes)

Sebenarnya, Tamansari tidak hanya berfungsi sebagai tempat rekreasi. Namun, bangunan yang konon dibangun oleh arsitek Portugis yang terdampar di laut selatan itu juga berfungsi sebagai bangunan pertahanan, tempat ibadah, dan kebun keraton. Denah Tamansari dapat dilihat di papan yang sudah mengelupas (sehingga sulit dibaca) di dekat loket masuk.


Gapura Panggung
(Sketsa Awang Emanuel)

Di tempat pembayaran tiket terdapat pos penjagaan dan Setelah membayar tiket Rp2.000, kami memasuki Gapura Panggung. Di antara Gapura Panggung dan Gapura pemandian terdapat 4 gedung kembar. Konon, dipergunakan sebagai tepat gamelan yang dibunyikan ketika Sri Sultan berada di Gapura Panggung.

Bangunan Pengintip

Setelah melewati Gapura Panggung, kami memasuki gapura kedua dan menemukan komplek pemandian nan biru (yang sekarang terisi dengan air PAM). Sebelah kanan atau utara adalah kolam bagi putra-putri Sultan yang disebut Umbul Karawitan. Bagian tengah merupakan kolam pemandian permaisuri yaitu Umbul Pamuncar. Sedangkan paling selatan adalah Umbul Panguras, tempat pemandian khusus bagi Sri Sultan.


Pulau Kenanga
(Sketsa Awang Emanuel)

Di antara Umbul Pamuncar dan Panguras terdapat gedung Cemeti, tempat pusaka keraton. Namun, umumnya guide menjelaskan tempat tersebut sebagai tempat Sultan ‘mengintip’ para selir yang mandi. Dahulu, butuh kolam sebesar itu wajar. Maklum, Sultan jaman dulu punya selir banyak sekaligus anak-anaknya. Walaupun kolam berdinding biru itu tampak menyegarkan, tidak diperbolehkan digunakan untuk berenang (kecuali anak-anak setempat yang memang hobi bermain).

Keluar dari komplek pemandian, kami berada di tanah lapang yang di depannya terdapat Gapura Agung. Konon di lapangan yang berbentuk segi 8 itu di tengahnya terdapat sebuah bangunan, yang saat ini sudah tidak ada.

Masjid Bawah Tanah
(Sketsa Yoes)

Perjalanan kami lanjutkan menuju gedhong madaran (dapur) serta bangunan berbentuk U yang menghadap ke arah selatan di selatan pemandian. Bangunan berbentuk huruf U (berdasarkan pencocokan saya di buku), sayap timur dan barat konon tempat tidur permaisuri; sayap utara Sultan. Meski begitu, saya kurang yakin bangunan sayap timur dan barat adalah tempat tidur permaisuri. Itu karena saya merasa fungsinya tidak nampak sebagai kamar. Malah terlihat seperti tempat untuk berganti baju. Kata pemandu wisata, itu untuk tempat dayang-dayang. Mana yang benar, saya kurang tahu. Bangunan di sayap utara tersebut terdiri dari dua bagian, kolam dan tempat tidur sebagai tempat semedi.

Aming, salah satu peserta digambar ketika menyeketsa di jendela Masjid Tamansari
(Sketsa Yoes)

Selanjutnya kami melewati perkampungan untuk menuju Masjid Tamansari. Masjid yang sering muncul di film itu memang tampak berbeda dengan masjid-masjid lain. Bangunannya seperti benteng, dan berbentuk melingkar diameter 25 m. Di Tengahnya terdapat 5 tangga yang menjadi satu. Katanya menyimbolkan rukun Islam. Masjid yang terdiri dari dua tingkat itu juga sering disebut masjid bawah tanah. Tingkat satu di bawah tanah, tingkat dua rata dengan tanah. Di tengahnya terdapat sumur yang dinamakan sumur gemuling sebagai tempat wudhu.

Perjalanan diteruskan menuju Pulau Kenanga. Disebut Pulau karena dulunya dikelilingi air. Keraton Pulau Kenanga merupakan tempat tinggal Sultan HB I sampai dengan III. Nama kenanga diambil karena terdapat pohon kenanga di sekitarnya.

Gedung Kembar
(Sketsa Awang Emanuel)

Diskusi

Dari pulau kenanga, kami dapat menyaksikan Pulau Panembung yang saat ini belum selesai direnovasi. Bangunan yang dulu terletak di danau buatan itu dapat dicapai dengan terowongan sepanjang kurang lebih 200 meter, yang terletak di selatan Pulau Kenanga. Saat di sana, saya kurang mengamati apakah ada belokan yang menuju Pulau Panembung di lorong tersebut. Kemungkinan sedang direnovasi atau ditutup. Di terowongan tersebut terdapat ventilasi berbentuk limas. Atap ventilasi itu saat ini berbaur dengan bangunan rumah penduduk di sekitarnya.



Peserta Sketching & Sharing diskusi menentukan lokasi acara IS berikutnya

Setelah itu peserta sketching menyebar untuk membuat sketsa objek yang diinginkan. Peserta kembali ke tempat semula melewati lorong yang berujung ke Plengkung Taman Segaran. Plengkung tersebut dulunya semacam pelabuhan sampan di sebelah timur Pulau Panembung. Pukul 12, kami berkumpul di gedung kembar untuk berkenalan dan berdiskusi. Setelah itu, banyak peserta yang meneruskan untuk menyeketsa, meski masih gerimis.

Hasil sketsa

Peserta sketching & sharing di depan Gapura Panggung Tamansari

Membaca referensi internet dan buku, sampai saat ini saya belum paham benar mengenai Tamansari. Di masyarakat pun menyebut satu bangunan berbeda-beda. Peta yang tersedia kurang memadai karena sudah lama dan mengelupas. Bahkan di peta tidak ditunjukkan, di mana tempat saya berada. Guide yang kebetulan saya temui ketika survei pun berpengetahuan kurang. Kita hanya berharap, semoga dengan sketsa Tamansari makin populer dan makin banyak yang ingin mengembangkan wisata Tamansari tidak hanya sebagai wisata narsis, tetapi juga sebagai wisata sejarah dan budaya (Niken Anggrek Wulan).

Beberapa data dan keterangan diambil dari

Fajar Winarni. Aspek Hukum Upaya Pelestarian Situs Tamansari Yogyakarta sebagai Salah Satu Warisan Budaya. Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Buku: Yogyakarta Potensi Wisata

1 comment:

DHAR CEDHAR said...

selalu menarik untuk diikuti, ingin rasanya bergabung di sini. sy baru sekali nyeket di Yogja, jauh sebelum IS berdiri. Selamat untuk rekan2 sketchers IS-Yogja...
Salam sketsa!